Masa remaja mempunyai ciri antara lain, petualangan, pengelompokan, dan
kenakalan. Ciri ini tercermin juga dalam bahasa mereka. Keinginan untuk membuat
kelompok eksklusif menyebabkan mereka menciptakan bahasa rahasia (Sumarsana dan
Partana, 2002:150).
Begitu halnya dengan budaya dan bahasa dalam lingkup
masyarakat akan selalu mengalami pergerakan dan perubahan. Bahasa pun akan terus mengikuti pergerakan dan
perubahan budaya dalam sebuah masyarakat. Hal ini disebabkan bahwa bahasa memiliki korelasi dengan budaya dan sosial ekonomi suatu
masyarakat penggunanya. Bahasa dapat berkembang dengan pesat atau sebaliknya,
secara perlahan musnah karena ditinggalkan penggunanya.
Pemakaian bahasa gaul
yang juga mencerminkan sebuah budaya tersebut tampak sekali pada dialog-dialog
yang digunakan antartokoh dalam film remaja Indonesia . Dialog yang digunakan
sangat berbeda dengan bahasa Indonesia yang sesuai dengan tata bahasa Indonesia
baku . Bahasa
remaja memiliki kecenderungan memakai bahasa prokem atau slang yang memiliki kesan
santai dan tidak kaku. Ketidakbakuan tersebut tercermin dalam kosa kata,
struktur kalimat, dan intonasi.
Lebih lanjut dalam Pikiran
Rakyat, tercatat bahwa bahasa gaul pada awalnya merupakan bahasa yang
banyak digunakan oleh kalangan sosial tertentu di Jakarta , kemudian secara perlahan merambah
kalangan remaja terutama di kota-kota besar.
Ani
Arlina Kholid dalam Pikiran Rakyat menyatakan bahwa salah satu ciri
atau sifat bahasa yang hidup dan dipakai di dalam masyarakat, apa pun dan di
manapun bahasa tersebut digunakan, akan selalu terus mengalami perubahan.
Bahasa akan terus berkembang dan memiliki aneka ragam atau variasi, baik
berdasarkan kondisi sosiologis maupun kondisi psikologis dari penggunanya. Oleh
karena itu, dikenal ada variasi atau ragam bahasa pedagang, ragam bahasa
pejabat/politikus, ragam bahasa anak-anak, termasuk ragam bahasa gaul.
Hal senada diungkapkan
Fathuddin bahwa slang merupakan bahasa gaul yang hidup dalam masyarakat petutur
asli dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam obrolan antar
teman, atau dalam media mass seperti teve, film dan besar kemunManusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sejak
berabad-abad silam. Dari masa ke
masa, bahasa selalu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan budaya
manusia. Selama itu pula bahasa mengalami fluktuatif. Artinya ada bahasa yang
mampu bertahan dan ada bahasa yang punah.
Menurut
Dr. Sumarsono dan paini Partana menganggap bahasa sebagai produk sosial atau
produk budaya, bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayan itu.
Sebagai produk sosial atau budaya, bahasa berfungsi sebagai wadah aspirasi
sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk
teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa juga disebut
sebagai “cermin zamannya”. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu
mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat.
Menurut
Samsuri (1980:4) manusia yang tidak berbicarapun, pada hakikatnya masih memakai
bahasa., karena bahasa ialah alat yang dipakai untuk memenuhi pikiran dan
perasaannya, keinginan dan perbuatan-perbuatan, sekaligus sebagai alat yang
dipakainya untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Bahasa adalah dasar pertama-tama
dan paling berurat akar pada masyarakat manusia. Oleh karena itu bahasa juga
sebagai tanda yang jelas dari kepribadian, antara yang baik dan buruk, begitu
juga tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, dan tanda yang jelas dari budi
kemanusiaan.
Hal di atas sejalan dengan pendapat Keraf (1980:3) ditinjau dari dasar dan
motif pertumbuhannya, bahasa berfungsi sebagai (1) alat untuk menyatakan
ekspresi diri, (2) alat komunikasi, (3) alat untuk mengadakan integrasi dan
adaptasi sosial, dan (4) alat untuk mengadakan kontrol sosial.
Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri adalah dipergunakan untuk
mengkespresikan segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan perasaan
penuturnya. Ungkapan pikiran dan perasaan manusia dipengaruhi oleh dua hal
yaitu oleh keadaan pikiran dan perasaan itu sendiri. Ekspresi bahasa lisan dapat dilihat
dari mimik, lagu/intonasi, tekanan, dan lain-lain. Ekspresi bahasa tulis dapat
dilihat dengan diksi, pemakaian tanda baca, dan gaya bahasa. Ekspresi diri dari
pembicaraan seseorang memperlihatkan segala keinginannya, latar belakang
pendidikannya, sosial, ekonomi. Selain itu, pemilihan kata dan ekspresi khusus
dapat menandai indentitas kelompok dalam suatu masyarakat.
Sebagai alat komunikasi, bahasa
mempunyai fungsi sosial dan fungsi kultural. Bahasa sebagai fungsi sosial
adalah sebagai alat perhubungan antaranggota masyarakat. Sedangkan sebagai
aspek kultural, bahasa sebagai sarana pelestarian budaya dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Hal ini meliputi segala aspek kehidupan manusia yang tidak
terlepas dari peranan kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peranan bahasa
sebagai alat untuk memperlancar proses social manusia.
Bangsa Indonesia
adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan ini membutuhkan satu alat sebagai
pemersatu keberseragaman tersebut. Di sinilah fungsi bahasa sangat diperlukan
sebagai alat integrasi sosial. Di samping sebagai alat integrasi sosial, bahasa
juga sebagai alat adaptasi sosial.
Bahasa
disebut sebagai alat adaptasi sosial apabila seseorang berada di suatu tempat
yang memiliki perbedaan adat, tata krama, dan aturan-aturan dari tempatnya
berasal. Proses
adaptasi ini akan berjalan baik apabila apabila terdapat sebuah alat yang
membuat satu sama lainnya mengerti. Alat tersebut disebut bahasa. Dari uraian
ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang sangat
penting bagi manusia.
gkinan dalam novel saat memaparkan suasana sosial tertentu.
Manusia
merupakan mahluk sosial, oleh karenanya manusia melakukan interaksi, bekerja
sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan hal tersebut, manusia membutuhkan sebuah
alat komunikasi yang berupa bahasa. Bahasa memungkinkan manusia membentuk
kelompok sosial, sebagai pemenuhan terhadap kebutuhannya untuk hidup bersama.
Dalam kelompok sosial tersebut manusia terikat secara individu. Keterikatan individu-individu
dalam kelompok ini sebagai identitas diri dalam kelompok tersebut. Setiap
individu adalah anggota dari kelompok sosial tertentu yang tunduk pada
seperangkat aturan yang disepakati dalam kelompok tersebut. Salah satu aturan
yang terdapat di dalamnya adalah seperangkat aturan bahasa.
Bahasa dalam lingkungan sosial masyarakat satu dengan yang lainnya berbeda. Dari adanya kelompok-kelompok sosial tersebut,
menyebabkan bahasa yang dipergunakan bervariasi. Kebervariasan bahasa ini
timbul sebagai akibat dari kebutuhan penutur yang memilih bahasa yang digunakan
agar sesuai dengan situasi konteks sosialnya. Oleh karena itu, variasi bahasa
timbul bukan karena kaidah-kaidah kebahasaan, melainkan disebabkan oleh
kaidah-kaidah sosial yang beraneka ragam.
Lebih sederhana, Sumarsana dan Partana mencoba mengelompokkan apakah dua bahasa
merupakan dialek atau subdialek atau hanya sekedar dua variasi saja, dapat
ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya. Jika persamaannya hanya 20 %
atau kurang, keduanya adalah dua bahasa. Tetapi kalau bisa mencapai 40%-60%,
keduanya dua dialek; dan kalau mencapai 90% misalnya, jelas keduanya hanyalah
dua variasi dari sebuah bahasa.
Setiap ragam bahasa memiliki gaya
untuk menunjukkan identitasnya. Bahasa merupakan alat komunikasi dalam
berinteraksi antaranggota masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tersendiri
antarkelompok pemakainya.
Dalam variasi bahasa setidaknya terdapat tiga hal, yaitu pola-pola bahasa yang
sama, pola-pola bahasa tersebut dapat dianalis secara deskriptif, pola-pola
yang dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk
berkomunikasi. Di samping itu, variasi bahasa disebabkan oleh perbedaan tempat
atau lingkungan pemakai bahasa, waktu, dan pemakai (Pateda, 1987: 52)
Variasi bahasa dilihat dari segi tempat atau lingkungan adalah pembatasan
secara fisik. Artinya, keadaan tempat atau lingkungan yang berupa air, laut, gunung
ataupun hutan.Variasi seperti ini menghasilkan apa yang disebut dengan dialek,
yaitu seperangkat bentuk ujaran setempat yang masih
dipahami oleh pengguna dalam suatu masyarakat bahasa walaupun ada pembahagian
geografi. Inti dari dialek adalah kesalingmengertian. Oleh karena itu, dialek
biasa juga disebut sebagai dialek geografis atau dialek regional.
Dilihat dari segi waktu, variasi bahasa dapat terjadi pada kurun waktu
tertentu. Perbedaan waktu tersebut menyebabkan perbedaan makna untuk kata-kata
tertentu. Hal ini berarti bahwa bahasa mengikuti garis perkembangan masyarakat
pemakai bahasa. Oleh karena itu bahasa bersifat dinamis bukan bersifat statis.
Menurut Pateda (1987: 52-53) variasi bahasa dapat dilihat dari enam segi, yaitu
tempat, waktu, pemakai, situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status,
dan pemakaiannya (ragam)
Tempat dapat menjadikan sebuah bahasa bervariasi. Yang dimaksud dengan tempat
di sini adalah tempat yang dibatasi dengan air, dan keadaan tempat berupa
gunung ataupun hutan. Kebervariasian ini mengahsilkan adanya dialek, yaitu
bentuk ujaran yang berbeda-beda.
Variasi bahasa dilihat dari
segi waktu secara diakronis (historis) disebut juga sebagai dialek temporal.
Dialek tersebut adalah dialek yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Perbedaan
waktu itu pulalah yang menyebabkan perbedaan makna untuk kata-kata
tertentu. Hal ini disebabkan oleh karena bahasa mengikuti perkembangan
masyarakat pemakai bahasanya. Itulah mengapa bahasa bersifat dinamis, tidak
statis.
Dari segi pemakai, bahasa dapat menimbulkan kebervariasian juga. Istilah
pemakai di sini adalah orang atau penutur bahasa yang bersangkutan. Variasi
bahasa dilihat dari segi penutur oleh Pateda dibagi menjadi tujuh, yaitu
glosolalia (ujaran yang dituturkan ketika orang kesurupan), idiolek (berkaitan
dengan aksen, intonasi, dsb), kelamin, monolingual (penutur bahasa yang memakai
satu bahsa saja), rol (peranan yang dimainkan oleh seorang pembicara dalam
interaksi sosial), status sosial, dan umur.
______
Variasi bahasa
dilihat dari segi situasi akan memunculkan bahasa dalam situasi resmi dan
bahasa yang dipakai dalam tidak resmi. Dalam bahasa resmi, bahasa yang
digunakan adalah bahasa standar. Kesetandaran ini disebabkan oleh situasi
keresmiannya. Sedangkan dalam situasi tidak resmi ditandai oleh keintiman.
Bahasa menurut statusnya meliputi fungsi bahasa dan bahasa ibu. Hal ini berarti
bahwa bagaimanakah fungsi bahasa itu serta peraanan apa yang disandang oleh
bahasa.
Sebuah komunikasi dikatakan efektif
apabila setiap penutur menguasi perbedaan ragam bahasa. Dengan penguasaan ragam
bahasa, penutur bahasa dapat dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui
pemilihan ragam bahasa yang ada sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu,
penguasaan ragam bahasa menjadi tuntutan bagi setiap penutur, mengingat
kompleksnya situasi dan kepentingan yang masing-masing menghendaki kesesuaian
bahasa yang digunakan.
erdapat dua situasi yang menggolongkan
pemakaian bahasa di dalam masyarakat, yaitu situasi resmi dan tidak resmi.
Bahasa yang digunakan pada situasi resmi menuntut penutur untuk menggunakan
bahasa baku ,
bahasa formal. Penggunaan bahasa resmi terutama disebabkan oleh keresmian
suasana pembicaraan dan komunikasi tulis yang menuntut adanya bahasa resmi.
Contoh suasana pembicaraan resmi adalah pidato, kuliah, rapat, ceramah umum,
dan lain-lain. Dalam bahasa tulis bahasa resmi banyak digunakan dalam surat dinas,
perundang-undangan, dokumentasi resmi, dan dan lain-lain.
Situasi tidak resmi akan memunculkan suasana penggunaan bahasa tidak resmi
juga. Kuantitas pemakian bahasa tidak resmi banyak tergantung pada tingkat
keakraban pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Dalam situasi tidak resmi,
penutur bahasa tidak resmi mengesampingkan pemakaian bahasa baku atau formal. Kaidah dan aturan dalam
bahasa bahasa baku
tidak lagi menjadi perhatian. Prinsip yang dipakai dalam bahasa tidak resmi
adalah asal orang yang diajak bicara bisa mengerti. Situasi semacam ini dapat terjadi pada situasi
komunikasi remaja di sebuah mal, interaksi penjual dan pembeli, dan lain-lain.
Dari segi fungsinya, bahasa gaul memiliki persamaan anatara slang, jargon,
dan prokem. Fungsi slang dan prokem digunakan
untuk merahasiakan sesuatu kepada kelompok lain (Pateda, 1987:70). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1989:352) disebutkan bahwa jargon adalah kosakata
khusus yang dipergunakan di bidang kehidupan (lingkungan) tertentu.
Bahasa gaul remaja merupakan bentuk bahasa tidak resmi. Bahasa gaul remaja
berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Bahasa gaul dari masa ke masa
berbeda. Tidak mengherankan apabila bahasa gaul remaja digunakan dalam
lingkungan dan kelompok sosial terbatas, yaitu kelompok remaja. Hal ini berarti
bahwa bahasa gaul hanya digunakan pada kelompok sosial yang
menciptakannya. Anggota di luar kelompok sosial tersebut sulit untuk memahami
makna bahasa gaul tersebut.
Bahasa gaul disebut juga
sebagai bahasa prokem, . Hal ini dilihat dari segi fungsi, penuturnya, dan
kaidah pembentukan bahasanya. Hal ini sesuai dengan laman wilkimedia bahwa
bahasa gaul atau bahasa prokem adalah dialek bahasa indonesia nonformal yang
terutama digunakan di daerah perkotaan umumnya oleh kalangan remaja, dan
kalangan muda di Indonesia, khususnya di daerah
perkotaan.
Perkembangan teknologi informasi, salah satunya televisi, sangat berperan
penting dalam penyebaran bahasa gaul. Apalagi dengan kemajuan teknologi
komunikasi Short Massages Send (SMS) yang memberi peluang luas untuk
penyebaran bahasa gaul dari satu penutur ke penutur lain.
Bahasa prokem biasa juga disebut sebagai bahasa sandi, yuaitu bahasa yang
dipakai dan digemari oleh kalangan remaja tertentu. Bahasa ini konon berasal
dari kalangan preman. Bahasa prokem itu digunakan sebagai sarana komunikasi di
antara remaja sekelompoknya selama kurun tertentu. Sarana komunikasi diperlukan
oleh kalangan remaja untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap tertutup bagi
kelompok usia lain atau agar pihak lain tidak dapat mengetahui apa yang sedang
dibicarakannya. Bahasa prokem itu tumbuh dan berkembang
sesuai dengan latar belakang sosial budaya pemakainya. Hal itu merupakan
perilaku kebahasaan dan bersifat universal.
Hal
senada dituliskan juga pada laman Pusat Bahasa bahwa Bahasa
prokem adalah bahasa sandi, yang dipakai dan digemari oleh kalangan remaja
tertentu. Bahasa ini konon berasal dari kalangan preman. Bahasa prokem itu
digunakan sebagai sarana komunikasi di antara remaja sekelompoknya selama kurun
tertentu. Sarana komunikasi diperlukan oleh kalangan remaja untuk menyampaikan
hal-hal yang dianggap tertutup bagi kelompok usia lain atau agar pihak lain
tidak dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakannya. Bahasa prokem itu tumbuh
dan berkembang sesuai dengan latar belakang sosial budaya pemakainya. Hal itu
merupakan perilaku kebahasaan dan bersifat universal.
Bahasa Slang oleh
Kridalaksana (1982:156) dirumuskan sebagai ragam bahasa yang tidak resmi
dipakai oleh kaumremaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern
sebagai usaha orang di luar kelompoknya tidak mengerti, berupa kosa kata yang
serba baru dan berubah-ubah. Hal ini sejalan dengan pendapat Alwasilah
(1985:57) bahwa slang adalah variasi ujaran yang bercirikan dengan kosa kata
yang baru ditemukan dan cepat berubah, dipakai oleh kaum muda atau kelompok
sosial dan profesional untuk komunikasi di dalamnya.
Slang yaitu sengaja
dibuat untuk merahasiakan sesuatu kepada kelompok lain (Pateda, 1987:70).
Sedangkan menurut Harimukti Kridalaksana (1984:68). Jargon merupakan
kosakata yang khas dipakai dalam kehidupan tertentu. Seperti yang dipakai oleh
montir-montir, tukang tukang kayu, guru, dan sebagainya, dan sering tidak dipahami
oleh orang dalam bidang lain.
Telah
dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara
genetis hanya ada pada manusia; tidak terdapat pada makhluk hidup lainnya,
seperti binatang. Alat komunikasi pada binatang bersifat instinktif, sehingga
proses komunikasi pada setiap jenis binatang semuanya sama. Seekor simpanse
menyatakan rasa senang dengan memukul-mukul dadanya dengan kepalan tangan.
Lebah melakukan putaran sambil terbang beberapa kali untuk mengomunikasikan
bahwa pada jarak tertentu terdapat madu. Komunikasi binatang dilakukan dengan
bunyi-bunyi dan isyarat tubuh yang sama pada setiap jenis binatang. Berbeda
dengan binatang, manusia berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, isyarat, dan
tanda. Kedua alat komuniaksi terakhir digunakan oleh binatang tetapi bahasa
tidak. Bahasa sebagai alat komunikasi hanya digunakan oleh manusia (Clark , 1981). Sejalan dengan pemilikan bahasa oleh
manusia, pikiran dari satu pihak dan budaya dari pihak lain juga milik manusia
dan tidak terdapat pada binatang.
Makalah
ini bertujuan untuk meninjau sepintas kepemilikan bahasa oleh manusia dalam
hubungannnya dengan pikiran, budaya dan komunikasi ditinjau dari berbagai
sudut, serta pengaruh perkembangan sosial terhadap bahasa dan penggunaan
bahasa. Di samping itu, sebagai pengkaji bahasa, apa yang seharusnya kita
lakukan dan untuk apa kita gunakan hasil kajian bahasa.
2.
Bahasa Akuisisi dan Bahasa Pembelajaran
Pembicaraan
tentang bahasa yang diakuisisi selalu berkisar tentang pemerolehan bahasa oleh
anak-anak sampai umur empat tahun dengan sentral pembicaraan pada bentuk-bentuk
bahasa yang dikuasai anak sampai pada tingkat umur tertentu. Anak-anak
kelihatannya tidak menggandrungi bahasa tertentu dalam mengakuisisi bahasa.
Mereka menyerap bahasa dengan mudah tanpa ada kesuliatan. Menurut para ahli
psikolinguis, sampai dengan umur empat tahun, mereka sudah menguasai kosa kata,
gramatika, makna semantis/paragmatis, dan wacana yang berhubungan dengan
pengalaman mereka sehari-hari (Miller, 1979). Mudahnya mereka menguasai bahasa,
tidak tergantung kepada lingkungan masyarakat bahasa yang mana mereka
dibesarkan-- seperti anak Indonesia
yang dibesarkan di Jerman akan berbahasa Jerman, yang dibesarkan di Swedia akan
berbahasa Swedia, dan seterusnya. Namun bahasa yang dikuasai oleh anak yang
berumur sampai dengan empat tahun adalah bahasa sehari-hari yang bertahapan
sesuai dengan tingkat umur. Tahapan pertama adalah bahasa ego yang berfungsi
untuk mengungkapkan keinginan diri tanpa memperhatikan keinginan dan komunikasi
dua arah. Pada tingkat umur tertentu, barulah anak secara sederhana dapat
menanggapi keinginan orang lain dalam berkomunikasi secara pragmatis (Miller
1979). Konstruksi-konstruksi bahasa yang jarang mereka temukan dalam kehidupan
sehari-hari; yang banyak dipakai dalam bahasa tulis dan konstruksi-konstruksi
bahasa yang sangat rumit belum mereka kuasai (Slobin,
1985; 1992). Bentuk-bentuk bahasa formal, seperti bahasa pendidikan, bahasa
pidato, bahasa diskusi, bahasa surat ,
bahasa buku, dan sejenisnya masih di luar jangkauan
penguasaan anak. Pada saat anak-anak sudah masuk sekolah, akuisisi bahasa
mereka semakin luas dan semakin memahami fungsi bahasa sebagai alat komunikasi
sesuai dengan perkembangan sosial-budaya. Bahasa akademis dan bahasa tulis
mereka peroleh pada saat mereka berada di dalam masa pendidikan formal. Semakin
maju suatu bangsa, semakin rumit bentuk komunikasi yang terjadi sesuai dengan
kerumitan perkembangan budaya yang berkembang dalam masyarakat bahasa di mana
seseorang dibesarkan dan semakin berkembang penguasaan bahasanya.
Pernyataan Slobin yang terakhir di atas adalah kunci perbedaan
pandangan penguasaan bahasa oleh para psikolinguis dengan para ahli
sosiolinguistik, pragmatik dan analisis wacana. Penguasaan bahasa oleh anak
dengan konstruksi gramatika yang lengkap sudah dianggap sebagai penguasaan
bahasa secara sempurna. Sebaliknya, penulis berpendapat sama dengan para ahli
yang mengatakan bahwa akuisisi dan pembelajaran bahasa manusia tidak pernah ada
akhirnya sampai akhir hayat seseorang. Dengan kata lain, selama penguasaan
bahasa tidak hanya dipandang sebagai penguasaan bentuk-bentuk gramatika, tetapi
dipandang dari hubungan perkembangan sosial-budaya yang mereka serap dan hayati
dari kehidupan mereka, maka akuisisi dan pembelajaran bahasa oleh manusia
berlangsung terus.
Dari dasar berpikir tentang hakikat pemilikan bahasa pada manusia,
pertanyaan yang dikemukakan dalam makalah ini adalah ke mana kajian bahasa
seharusnya dan sebaiknya diarahkan agar berdaya-guna terhadap pengembangan
sumber daya manusia.
3.
Bahasa, Konteks, dan Perluasan Pengertian Konteks
Berbagai
pendapat ahli tentang definisi bahasa, tergantung pada filsafat kebahasaan yang
dianut. Kaum mentalisme berpendapat bahwa bahasa adalah satuan-satuan proposisi
yang dituangkan dalam kalimat (Menyuk, 1971). Kaum interaksionisme kognitif
mengatakan bahwa bahasa bukan hanya pengetahuan penutur bahasa tentang
proposisi, tetapi lebih luas dari itu—hubungan logis antar proposisi (Piaget,
1981). Tetapi aliran ketiga, kaum interaksionisme sosial berpendapat bahwa
bahasa lebih luas lagi dari itu. Bahasa tidak saja dipandang dari konten
proposisi, hubungan logis antar proposisi, tetapi juga melibatkan interpretasi
sebagai hasil komunikasi antara pembicara dan pendengar. Interpretasi dapat
dilakukan apabila konteks dipahami baik oleh pembicara maupun pendengar
(Vygotsky, 1973).
Dengan
pijakan ilmu kebahasaan yang sudah ada, para ahli semakin lama semakin
menyadari bahwa sebenarnya konteks tidak terikat pada waktu, tempat, situasi,
topik, partisipan, dan saluran percakapan, tetapi lebih meluas lagi dengan
konteks-konteks yang jauh di luar pembicara dan pendengar yang terlibat dalam
suatu komuniaksi antarpersona. Mereka telah mulai menjelajahi bahasa secara lebih
khusus dan mendalam ke dalam kehidupan manusia yang menggunakannya. Manusia
menggunakan bahasa bersama dengan perkembangan sosial budaya; manusia
menggunakan bahasa dalam politik, ekonomi, agama, pendidikan, sains dan
teknologi. Maka konteks bahasa tidak lagi hanya konteks pembicara-pendengar
pada tempat, waktu, situasi, dan saluran tertentu, tetapi telah meluas ke dalam
segala segi kehidupan manusia.
Karena
itu Grundy (1998) menegaskan bahwa:
… Truth or enlightenment is contingent on
an infinite process of scientific enquiry within a community of interpreters
vis-a-vis phenomena of the real world, rather than being a transcendental state
of mind arrived at by one particular individual (or group of individuals) at
some particular period of time. …
Kebenaran interpretasi dalam
suatu komunitas bahasa datang dari dunia nyata, bukan merupakan hasil pendapat
manusia secara individu atau kelompok individu tentang bahasa pada periode
waktu tertentu. Dengan rasional yang demikian, Grundy menarik implikasi bahwa:
1. we have no power of introspection, but at the same time all
knowledge of our internal world is derived by hypothetical reasoning from our
knowledge of external facts.
Apa yang ada di kedalaman pikiran manusia
bersumber dari kenyataan-kenyataan yang terdapat di luar pikiran manusia itu
sendiri melalui penalaran. Bahwa manusia mempunyai genetika kebahasaan tidak
disangkal, tetapi genetika bahasa tidak bermakna apabila "knowledge of
external facts" tidak ada. Karena itu, terkait dengan apa yang telah
diuraikan pada bagian pendahuluan, akuisisi dan pembelajaran bahasa tidak
pernah berhenti sampai seseorang meninggal dunia.
2. we have no power of intuition, but yet every cognition is
determined logically by previous cognitions
Seperti yang dinyatakan
oleh Chomsky (1965), manusia mempunyai intuisi terhadap bahasa asli atau bahasa
ibunya. Tetapi mungkinkah intuisi itu ada apabila kognisi sebelumnya tidak
pernah ada? Dari mana kita tahu bahwa sebuah kalimat salah, jika kalimat itu
sendiri tidak pernah ada sebelumnya? Dan keberadaan sebuah kalimat dalam bahasa
tertentu di dalam otak seseorang tidak dibawa dari lahir, tetapi masuk ke dalam
otak manusia sebagai input, bukan sebagai "property" otak manusia.
Ini tidak saja terjadi pada akuisisi bahasa tetapi juga pada kognisi yang lain.
Dapatkah manusia menggunakan intuisinya bahwa suatu norma dalam budayanya salah
atau benar bila tidak didahului oleh keberadaan budaya tersebut sebelum dia
lahir?
3. we have no power of thinking without signs.
Tanda-tanda atau
simbul-simbul, termasuk bahasa, adalah alat berpikir manusia. Simbul-simbul
tersebut sudah ada di luar diri seseorang sebelum dia lahir. Tanpa
simbul-simbul tersebut manusia tidak dapat berpikir. Simbul-simbul tersebut
dapat dipahami bukan oleh proses penyerapan pikiran secara individual, tetapi
merupakan interaksi antara setiap individu dengan alam dan dengan individu
lainnya baik perorangan maupun di dalam kelompok.
4. we have no conception of the absolutely incognizable
Tidak satupun konsepsi
yang tidak dikenal oleh manusia. Artinya adalah bahwa melalui interaksi manusia
dengan manusia lain dan dengan alam, sebuah konsepsi tetap dikenal oleh manusia
di mana konsepsi itu lahir.
Keberadaan
diri manusia, seperti yang kita ketahui, terbentuk melalui tanda-tanda yang
merupakan bagian dari proses pengenalan tanda yang ada di dalam alam dan proses
pengenalan tanda yang ada di dalam suatu komunitas. Kesadaran diri manusia
saling terkait dengan mata rantai semiotik dan terbuka bagi struktur rasional
yang terdapat di dalam alam ini. Kenyataan-kenyataan sebagai tanda-tanda
eksternal yang diketahui atau yang dapat diketahui masuk dan menempati ranah
pikiran manusia dan melalui perbandingan-perbandingan membentuk makna. Karena
itu, berbeda dengan Chomsky (1958), Marvin Minsky (1988) mengemukakan bahwa
pikiran adalah bawaan. Tetapi pikiran tidak
dapat berbuat apa-apa tanpa tanda-tanda. Secara
spesifik, dia mengatakan bahwa:
Meanings
come about through interaction between readers and receivers and linguistic
features come about as a result of social processes, which are never arbitrary.
In most interactions, users of language bring with them different dispositions
toward language, which are closely related to social positionings.
Peran interaksi sosial
dalam pembentukan makna dalam kebahasaan sangat penting. Baik dalam akuisisi
bahasa anak maupun pembentukan pemahaman orang dewasa secara individual
terhadap sesuatu, pembentukan sebuah konsep atau pemahaman suatu proses kultural
tidak lepas dari peran sosial-budaya.
Kembali
kepada konteks dan perluasan pengertian konteks, dapat disimpulkan bahwa
konteks tidak saja terbatas pada konteks-konteks langsung (immediate contexts)
yang mencakup topik, latar, partisipan, saluran bahasa, dan fungsi bahasa
(Freedle, 1979), tetapi juga melingkup semua tanda-tanda (signs) yang terdapat
di dalam alam sesuai dengan komponen budaya di mana tanda-tanda tersebut itu
ada (Halliday, 1986). Proses akuisisi dan pembelajaran bahasa oleh anak-anak dan
orang dewasa selalu didampingi oleh tanda-tanda yang tersimpan di dalam
komponen-komponen sosial budaya yang sekarang kita simpulkan sebagai perluasan
konteks bahasa.
4.
Arah Kajian Bahasa dalam Perkembangan IPTEK dan Sosial-Budaya
Orang
di luar bidang bahasa selalu bertanya-tanya: "Untuk apa ilmu linguistik
itu?" Sebagai ilmuan kebahasaan, kita mencoba menjawabnya dari sudut
pandang azas manfaat. Setiap kajian kebahasaan mempunyai azas manfaat. Bila
kita tinjau dari segi aliran, bidang kajian, dan komponen dari masing-masing
bidang kajian bahasa, sebenarnya kita dapat menelusuri satu persatu manfaatnya.
Tetapi di dalam makalah yang singkat ini, penulis tidak mungkin menjangkau
semuanya. Bila kita perhatikan laporan penelitian kebahasaan baik penelitian
lepas atau dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi mahasiswa, di dalamnya
dicantumkan azas manfaat penelitian. Sebagai hasil penelitian linguistik murni,
secara umum hasil penelitian dikatakan bermanfaat untuk menambah khazanah
kebahasaan baik untuk linguistik Indonesia khususnya maupun
linguistik secara umum. Pada sisi lain, baik yang bertolak dari aliran
kebahasaan maupun dari bidang-bidang dan komponen masing-masing bidang, sebagai
hasil penelitian kebahasaan terapan, hasil penelitian bermanfaat untuk
diterapkan untuk berbagai kepentingan, seperti pendidikan dan pengajaraan,
pengembangan sosial-budaya, pengembangan IPTEK, pengembangan seni dan sastra,
dan sebagainya.
Noam
Chomsky, misalnya, sebagai penganut mentalisme dalam kajian kebahasaan
berpendirian bahwa hasil kajiannya tidak untuk dimanfaatkan untuk kepentingan
pendidikan dan pengajaran bahasa karena memang dia tidak mempunyai alasan untuk
itu (Chomsky, 1980). Penganut mentalisme kebahasaan, seperti yang telah
disinggung pada bagian terdahulu, mengkaji bagaimana makna-makna bahasa diserap
oleh anak-anak melalui analisis hubungan logis antar unsur yang hanya
melibatkan konteks semotaktik (konteks keterkaitan secara logis antar unsur di
dalam kalimat). Karena itu manfaat hasil kajiannya diuntukkan pada pengayaan
khazanah kebahasaan dalam bidang psikolinguistik. Karena psikolinguistik mempunyai
kaitan dengan ilmu otak (neurologi), pertanyaan muncul: "Apakah kajiannya
dapat dimanfaatkan untuk terapi bagi orang-orang yang bermasalah dalam
pengucapan bahasa yang disebabkan oleh kerusakan gumpalan otak yang mengontrol
bahasa (language lump)?" Jawabannya adalah "tidak" karena yang
memperbaiki "kerusakan bahasa" bukanlah kajian Chomsky, tetapi kajian
dan penelitian tentang otak itu sendiri. Kalau demikian, hasil kajian
psikolinguistik hanya untuk kajian itu "per se". Manfaat hasil kajian
suatu bidang ilmu merupakan hak "prerogatif" pengkajinya sendiri.
Dengan kata lain, hasil kajian bahasa yang demikian merupakan inventarisasi
kekayaan ilmu dan pengetahuan. Karena itu, salah satu klasifikasi hasil kajian
bahasa adalah inventarisasi kekayaan ilmu pengetahuan. Bahasa dalam hal ini
berfungsi sebagai ilmu (art).
Masuknya
teknologi secara berangsur-angsur ke dalam ruangan kelas selama lebih dari 20
tahun cenderung mencerminkan perkembangan teknologi komputer yang sejalan
dengan perkembangan pembelajaran dan pengajaran yang dilakukan oleh para
ahli dan diangkat oleh guru untuk dilaksanakan di dalam kelas. Karena itu, pengenalan teknologi internet dalam pendidikan
sejalan dengan beralihnya pendidikan dari minat terhadap teori belajar kognitif
dan perkembangan ke arah teori sosial dan kerjasama (Hawisher, 1994).
Beberapa
ahli mengemukakan bahwa era komunikasi hypertext dan internet yang telah mulai
tumbuh pada pertengahan1990-an mengisyaratkan perlunya perluasan pandangan
terhadap literasi: komputer tidak lagi dipandang sebagai pengganti guru atau
alat yang "pintar" bagi pembelajar, tetapi sebagai media baru yang
mengubah cara kita menulis, membaca, dan mungkin juga berpikir (Selfe, 1989).
Tanpa berpegang kepada analisis radikal peran teknologi dan literasi, kita
perlu melakukan penelitian tentang komputer dan pendidikan yang tidak hanya
menghargai manfaat komputer secara pedagogis dan sosial tetapi juga menentukan
secara tepat bagaimana bahasa, pembelajaran, dan pengajaran telah digantikan
oleh penggunaan teknologi internet dan hypertext di dalam kelas. Bahasa
internet merupakan bahasa wacana yang dapat dikaji dan dapat diterapkan dalam
pendidikan dan pengajaran.
Tentu
saja banyak hasil kajian bahasa yang berstatus seperti ini, namun kemajuan
IPTEK dan sosial-budaya di segala bidang membuat kajian bahasa berkembang ke
arah yang bersamaan dengan perkembangan itu. Di dalam makalah ini penekanan
adalah pada kajian-kajian bahasa yang berkaitan dengan perkembangan tersebut,
seperti pendidikan dan pengajaran, politik, kritik, komputerisasi, ekonomi,
teknik, pariwisata, komunikasi, dan banyak lagi.
Penulis, dalam makalah ini, tidak akan menguraikan perkembangan
IPTEK dan sosial-budaya secara konseptual, teoritis dan sistematis karena hal
tersebut adalah di luar jangkauan penulis. Tetapi penulis akan memberikan
contoh-contoh perkembangan tersebut secara acak dan mengaitkannya dengan kajian
kebahasaan.
5. Analisis Wacana
Bahwa
budaya mempengaruhi "gaya "
percakapan secara sistematis merupakan prinsip pendekatan analisis wacana yang
dikenal sebagai etnografi komunikasi, yang mengkaji bagaimana kaidah-kaidah
budaya menentukan struktur dasar percakapan. Bagi etnografer di bidang ini,
budaya merangkul pengetahuan dan pelaksanaannya, termasuk tindak tutur. Dalam
hal yang demikian, etnografi komuniaksi adalah payung teori tindak tutur.
Karena itu, barangkali, pendekatan komunikasi yang mengatakan bahwa tidak hanya
totalitas pengetahuan dan pelaksanaan budaya tercakup di dalam wacana tapi juga
penekanan pada bahasa menjadikan kedua kajian ini lebih banyak diperhatikan
pada saat ini.
Karena
totalitas budaya tercakup secara dominan di dalam kajian wacana, maka semua
aspek kehidupan sosial-budaya manusia dapat dianalisis melalui wacana. Makna dan modernitas merupakan usaha yang ambisius untuk
membangun kembali konsep dari pragmatisme filosofis untuk teori sosial yang
kontemporer. Halton (1986) mengemukakan nilai-nilai sikap pragmatis sebagai
cara berpikir. Selama ini, teknik rasionalisasi melepaskan diri dari konteks
yang hidup.Yang lebih menarik dewasa ini adalah arah kajian sosial
budaya dan wacana bisa dilakukan dalam dua arah--melalui wacana, kita dapat
mengkaji budaya dan melalui budaya kita dapat mengkaji wacana.
6.
Analisis Percakapan
Berikut ini, van Dijk (1998) mengulas tentang analisis percakapan. Seperti yang telah diperlihatkan oleh peneliti etnografi komunikasi dan para ahli bahasa lainnya, pemanfaatan kegiatan yang diatur oleh kaidah secara empiris dapat diuji dan diverifikasi kebenarannya. Analisis empiris peran tingkah laku yang diatur kaidah di dalam interaksi percakapan merupakan sentral pendekatan; dasar empirisnya menupangnya dengan metode yang tangguh karena hipotesis tentang percakapan yang terjadi pada suatu interaksi dapat diverifikasi dengan mengkaji interaksi dalam percakapan yang lain. Hasilnya adalah bahwa banyak para linguis dan sosiolog memfokuskan kajian mereka pada hal-hal yang diatur kaidah di dalam percakapan dan menemukan prinsip-prinsip utama. Ini bukan berarti bahwa sudah ada pendekatan yang diatur oleh kaidah yang sistematis dalam analisis wacana.
Sebaliknya, pendekatan yang berdasarkan kaidah dalam menerangkan makna telah dikeriktik secara luas, sebagi sesuatu yang terlalu umum untuk dimanfaatkan. Disarankan oleh banyak ahli agar kajiannya dibatasi di berbagai kemungkinan. Namun penganut kaidah percakapan membalasnya dengan mengatakan bahwa kaidah bukan untuk dipakai secara ketat, namun dalam percakapan terdapat kaidah yang dapat dipedomani. Dengan melihat bahwa ada kaidah dalam struktur percakapan, kita membatasi agar kajian kita tidak menjadi sesuatu yang tidak berujung.
Berikut ini, van Dijk (1998) mengulas tentang analisis percakapan. Seperti yang telah diperlihatkan oleh peneliti etnografi komunikasi dan para ahli bahasa lainnya, pemanfaatan kegiatan yang diatur oleh kaidah secara empiris dapat diuji dan diverifikasi kebenarannya. Analisis empiris peran tingkah laku yang diatur kaidah di dalam interaksi percakapan merupakan sentral pendekatan; dasar empirisnya menupangnya dengan metode yang tangguh karena hipotesis tentang percakapan yang terjadi pada suatu interaksi dapat diverifikasi dengan mengkaji interaksi dalam percakapan yang lain. Hasilnya adalah bahwa banyak para linguis dan sosiolog memfokuskan kajian mereka pada hal-hal yang diatur kaidah di dalam percakapan dan menemukan prinsip-prinsip utama. Ini bukan berarti bahwa sudah ada pendekatan yang diatur oleh kaidah yang sistematis dalam analisis wacana.
Sebaliknya, pendekatan yang berdasarkan kaidah dalam menerangkan makna telah dikeriktik secara luas, sebagi sesuatu yang terlalu umum untuk dimanfaatkan. Disarankan oleh banyak ahli agar kajiannya dibatasi di berbagai kemungkinan. Namun penganut kaidah percakapan membalasnya dengan mengatakan bahwa kaidah bukan untuk dipakai secara ketat, namun dalam percakapan terdapat kaidah yang dapat dipedomani. Dengan melihat bahwa ada kaidah dalam struktur percakapan, kita membatasi agar kajian kita tidak menjadi sesuatu yang tidak berujung.
- Manusia
sebagai individu, makhluk sosial dan mahluk religius.
Manusia sejak awal lahirnya adalah sebagai makhluk sosial (ditengah
keluarganya). Makhluk yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang
lain. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak
bagi kemanusiaan. Sebagai individu, manusia dituntut untuk dapat mengenal
serta memahami tanggung jawabnya bagi dirinya sendiri, masyarakat dan
kepada Sang Pencipta.
elearning.unej.ac.id/
Manusia dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia
diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan
konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan
ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan
penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk
membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.
ttp://id.wikipedia.org/wiki/Manusia
Untuk dapat menggunakan bahasa dalam
berkomunikasi diperlukan dua sarana penting, yakni sarana linguistik dan sarana
pragmatik. Sarana linguistik berkaitan dengan ketepatan bentuk dan struktur
bahasa, sedangkan sarana pragmatik berkaitan dengan kecocokan bentuk dan
struktur dengan konteks penggunaannya. Kendala pada sarana linguistik lebih sering
dihadapi oleh pembelajar BIPA pemula, sedangkan sarana pragmatik lebih sering
menjadi kendala bagi pembelajar BIPA tingkat menengah dan tingkat lanjut. Hal
ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Fadilah (2001) tentang
kesalahan berpragmatik dalam wacana tulis pembelajar BIPA.
Dalam
hal fungsi bahasa, banyak ahli membaginya bermacam-macam, misalnya, Halliday
mendeskripsikan tujuh fungsi bahasa, yakni fungsi instrumental, regulatory, representational interactional, personal,
heuristic, dan imaginative (dalam
Brown, 1980:194-195). Whatmough membaginya atas empat fungsi, yakni informatif,
dinamis, emotif, dan estetis (Rusyana, 1984:141-142), dan yang lebih rinci
disampaikan oleh Brown (1980:195) bukan dalam fungsi bahasa, melainkan dalam
tindak komunikasi. Brown menyajikan lima belas tindak komunikasi, yaitu greeting, complimenting, interrupting,
requesting, evading, criticizing, complaining, accusing, agreeing, persuading,
reporting, commanding, questioning, sympathizing, dan apologizing. Perbedaan pendapat tersebut bukan untuk
dipertentangkan, melainkan untuk menjadi khasanah dalam pemerian fungsi bahasa.
Penelitian yang dilakukan untuk makalah
ini berhubungan dengan tindak komunikasi tulis pembelajar BIPA (kelas 10,11,
dan 12) yang ada di Bandung International
School dengan melibatkan sepuluh tindak komunikasi, yakni (1) berkenalan,
(2) bertukar pengalaman, (3) memberikan informasi, (4) meminta maaf, (5)
menawar harga, (6) mengucapkan selamat, (7) memberikan nasihat, (8) mengucapkan
bela sungkawa, (9) mengungkapkan persetujuan dan penolakan, dan (10) mencari
informasi. Adapun peran pembelajar dalam tindak komunikasi yang diteliti
meliputi sebagai penutur (20 bagian) dan sebagai penanggap tutur (14 bagian).
Tipe kesalahan berpragmatik yang diteliti hanya kesalahan konteks dan kesalahan
budaya. Kesalahan konteks terdiri atas kesalahan menempatkan posisi, kesalahan
memahami konteks sebelumnya, dan kesalahan memahami konteks sesudahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar