Cari Blog Ini

22 Januari 2014

bahasa

Masa remaja mempunyai ciri antara lain, petualangan, pengelompokan, dan kenakalan. Ciri ini tercermin juga dalam bahasa mereka. Keinginan untuk membuat kelompok eksklusif menyebabkan mereka menciptakan bahasa rahasia (Sumarsana dan Partana, 2002:150).
Begitu halnya dengan budaya dan bahasa dalam lingkup masyarakat akan selalu mengalami pergerakan dan perubahan. Bahasa pun akan terus mengikuti pergerakan dan perubahan budaya dalam sebuah masyarakat. Hal ini disebabkan bahwa bahasa memiliki korelasi dengan budaya dan sosial ekonomi suatu masyarakat penggunanya. Bahasa dapat berkembang dengan pesat atau sebaliknya, secara perlahan musnah karena ditinggalkan penggunanya.
Pemakaian bahasa gaul yang juga mencerminkan sebuah budaya tersebut tampak sekali pada dialog-dialog yang digunakan antartokoh dalam film remaja Indonesia. Dialog yang digunakan sangat berbeda dengan bahasa Indonesia yang sesuai dengan tata bahasa Indonesia baku. Bahasa remaja memiliki kecenderungan memakai bahasa prokem atau slang yang memiliki kesan santai dan tidak kaku. Ketidakbakuan tersebut tercermin dalam kosa kata, struktur kalimat, dan intonasi.
 Lebih lanjut dalam Pikiran Rakyat, tercatat bahwa bahasa gaul pada awalnya merupakan bahasa yang banyak digunakan oleh kalangan sosial tertentu di Jakarta, kemudian secara perlahan merambah kalangan remaja terutama di kota-kota besar.
Ani Arlina Kholid dalam Pikiran Rakyat menyatakan bahwa salah satu ciri atau sifat bahasa yang hidup dan dipakai di dalam masyarakat, apa pun dan di manapun bahasa tersebut digunakan, akan selalu terus mengalami perubahan. Bahasa akan terus berkembang dan memiliki aneka ragam atau variasi, baik berdasarkan kondisi sosiologis maupun kondisi psikologis dari penggunanya. Oleh karena itu, dikenal ada variasi atau ragam bahasa pedagang, ragam bahasa pejabat/politikus, ragam bahasa anak-anak, termasuk ragam bahasa gaul.
Hal senada diungkapkan Fathuddin bahwa slang merupakan bahasa gaul yang hidup dalam masyarakat petutur asli dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam obrolan antar teman, atau dalam media mass seperti teve, film dan besar kemunManusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sejak berabad-abad silam.         Dari masa ke masa, bahasa selalu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan budaya manusia. Selama itu pula bahasa mengalami fluktuatif. Artinya ada bahasa yang mampu bertahan dan ada bahasa yang punah.
Menurut Dr. Sumarsono dan paini Partana menganggap bahasa sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayan itu. Sebagai produk sosial atau budaya, bahasa berfungsi sebagai wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa juga disebut sebagai “cermin zamannya”. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat.
Menurut Samsuri (1980:4) manusia yang tidak berbicarapun, pada hakikatnya masih memakai bahasa., karena bahasa ialah alat yang dipakai untuk memenuhi pikiran dan perasaannya, keinginan dan perbuatan-perbuatan, sekaligus sebagai alat yang dipakainya untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Bahasa adalah dasar pertama-tama dan paling berurat akar pada masyarakat manusia. Oleh karena itu bahasa juga sebagai tanda yang jelas dari kepribadian, antara yang baik dan buruk, begitu juga tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, dan tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.
            Hal di atas sejalan dengan pendapat Keraf (1980:3) ditinjau dari dasar dan motif pertumbuhannya, bahasa berfungsi sebagai (1) alat untuk menyatakan ekspresi diri, (2) alat komunikasi, (3) alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan (4) alat untuk mengadakan kontrol sosial.
            Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri adalah dipergunakan untuk mengkespresikan segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan perasaan penuturnya. Ungkapan pikiran dan perasaan manusia dipengaruhi oleh dua hal yaitu oleh keadaan pikiran dan perasaan itu sendiri. Ekspresi bahasa lisan dapat dilihat dari mimik, lagu/intonasi, tekanan, dan lain-lain. Ekspresi bahasa tulis dapat dilihat dengan diksi, pemakaian tanda baca, dan gaya bahasa. Ekspresi diri dari pembicaraan seseorang memperlihatkan segala keinginannya, latar belakang pendidikannya, sosial, ekonomi. Selain itu, pemilihan kata dan ekspresi khusus dapat menandai indentitas kelompok dalam suatu masyarakat.
            Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai fungsi sosial dan fungsi kultural. Bahasa sebagai fungsi sosial adalah sebagai alat perhubungan antaranggota masyarakat. Sedangkan sebagai aspek kultural, bahasa sebagai sarana pelestarian budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini meliputi segala aspek kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peranan kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peranan bahasa sebagai alat untuk memperlancar proses social manusia.
            Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan ini membutuhkan satu alat sebagai pemersatu keberseragaman tersebut. Di sinilah fungsi bahasa sangat diperlukan sebagai alat integrasi sosial. Di samping sebagai alat integrasi sosial, bahasa juga sebagai alat adaptasi sosial.
 Bahasa disebut sebagai alat adaptasi sosial apabila seseorang berada di suatu tempat yang memiliki perbedaan adat, tata krama, dan aturan-aturan dari tempatnya berasal. Proses adaptasi ini akan berjalan baik apabila apabila terdapat sebuah alat yang membuat satu sama lainnya mengerti. Alat tersebut disebut bahasa. Dari uraian ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia.

gkinan dalam novel saat memaparkan suasana sosial tertentu. 
Manusia merupakan mahluk sosial, oleh karenanya manusia melakukan interaksi, bekerja sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan hal tersebut, manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi yang berupa bahasa. Bahasa memungkinkan manusia membentuk kelompok sosial, sebagai pemenuhan terhadap kebutuhannya untuk hidup bersama.
            Dalam kelompok sosial tersebut manusia terikat secara individu. Keterikatan individu-individu dalam kelompok ini sebagai identitas diri dalam kelompok tersebut. Setiap individu adalah anggota dari kelompok sosial tertentu yang tunduk pada seperangkat aturan yang disepakati dalam kelompok tersebut. Salah satu aturan yang terdapat di dalamnya adalah seperangkat aturan bahasa.
            Bahasa dalam lingkungan sosial masyarakat satu dengan yang lainnya berbeda. Dari adanya kelompok-kelompok sosial tersebut, menyebabkan bahasa yang dipergunakan bervariasi. Kebervariasan bahasa ini timbul sebagai akibat dari kebutuhan penutur yang memilih bahasa yang digunakan agar sesuai dengan situasi konteks sosialnya. Oleh karena itu, variasi bahasa timbul bukan karena kaidah-kaidah kebahasaan, melainkan disebabkan oleh kaidah-kaidah sosial yang beraneka ragam.
            Lebih sederhana, Sumarsana dan Partana mencoba mengelompokkan apakah dua bahasa merupakan dialek atau subdialek atau hanya sekedar dua variasi saja, dapat ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya. Jika persamaannya hanya 20 % atau kurang, keduanya adalah dua bahasa. Tetapi kalau bisa mencapai 40%-60%, keduanya dua dialek; dan kalau mencapai 90% misalnya, jelas keduanya hanyalah dua variasi dari sebuah bahasa.
            Setiap ragam bahasa memiliki gaya untuk menunjukkan identitasnya. Bahasa merupakan alat komunikasi dalam berinteraksi antaranggota masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tersendiri antarkelompok pemakainya.
            Dalam variasi bahasa setidaknya terdapat tiga hal, yaitu pola-pola bahasa yang sama, pola-pola bahasa tersebut dapat dianalis secara deskriptif, pola-pola yang dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi. Di samping itu, variasi bahasa disebabkan oleh perbedaan tempat atau lingkungan pemakai bahasa, waktu, dan pemakai (Pateda, 1987: 52)
            Variasi bahasa dilihat dari segi tempat atau lingkungan adalah pembatasan secara fisik. Artinya, keadaan tempat atau lingkungan yang berupa air, laut, gunung ataupun hutan.Variasi seperti ini menghasilkan apa yang disebut dengan dialek, yaitu seperangkat bentuk ujaran setempat yang masih dipahami oleh pengguna dalam suatu masyarakat bahasa walaupun ada pembahagian geografi. Inti dari dialek adalah kesalingmengertian. Oleh karena itu, dialek biasa juga disebut sebagai dialek geografis atau dialek regional.
            Dilihat dari segi waktu, variasi bahasa dapat terjadi pada kurun waktu tertentu. Perbedaan waktu tersebut menyebabkan perbedaan makna untuk kata-kata tertentu. Hal ini berarti bahwa bahasa mengikuti garis perkembangan masyarakat pemakai bahasa. Oleh karena itu bahasa bersifat dinamis bukan bersifat statis.
            Menurut Pateda (1987: 52-53) variasi bahasa dapat dilihat dari enam segi, yaitu tempat, waktu, pemakai, situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status, dan pemakaiannya (ragam)
            Tempat dapat menjadikan sebuah bahasa bervariasi. Yang dimaksud dengan tempat di sini adalah tempat yang dibatasi dengan air, dan keadaan tempat berupa gunung ataupun hutan. Kebervariasian ini mengahsilkan adanya dialek, yaitu bentuk ujaran yang berbeda-beda.
            Variasi bahasa dilihat dari segi waktu secara diakronis (historis) disebut juga sebagai dialek temporal. Dialek tersebut adalah dialek yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Perbedaan waktu itu pulalah yang menyebabkan perbedaan makna untuk kata-kata tertentu.  Hal ini disebabkan oleh karena bahasa mengikuti perkembangan masyarakat pemakai bahasanya. Itulah mengapa bahasa bersifat dinamis, tidak statis.
            Dari segi pemakai, bahasa dapat menimbulkan kebervariasian juga. Istilah pemakai di sini adalah orang atau penutur bahasa yang bersangkutan. Variasi bahasa dilihat dari segi penutur oleh Pateda dibagi menjadi tujuh, yaitu glosolalia (ujaran yang dituturkan ketika orang kesurupan), idiolek (berkaitan dengan aksen, intonasi, dsb), kelamin, monolingual (penutur bahasa yang memakai satu bahsa saja), rol (peranan yang dimainkan oleh seorang pembicara dalam interaksi sosial), status sosial, dan umur.
______
Variasi bahasa dilihat dari segi situasi akan memunculkan bahasa dalam situasi resmi dan bahasa yang dipakai dalam tidak resmi. Dalam bahasa resmi, bahasa yang digunakan adalah bahasa standar. Kesetandaran ini disebabkan oleh situasi keresmiannya. Sedangkan dalam situasi tidak resmi ditandai oleh keintiman.
            Bahasa menurut statusnya meliputi fungsi bahasa dan bahasa ibu. Hal ini berarti bahwa bagaimanakah fungsi bahasa itu serta peraanan apa yang disandang oleh bahasa.
            Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasi perbedaan ragam bahasa. Dengan penguasaan ragam bahasa, penutur bahasa dapat dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui pemilihan ragam bahasa yang ada sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, penguasaan ragam bahasa menjadi tuntutan bagi setiap penutur, mengingat kompleksnya situasi dan kepentingan yang masing-masing menghendaki kesesuaian bahasa yang digunakan.
erdapat dua situasi yang menggolongkan pemakaian bahasa di dalam masyarakat, yaitu situasi resmi dan tidak resmi. Bahasa yang digunakan pada situasi resmi menuntut penutur untuk menggunakan bahasa baku, bahasa formal. Penggunaan bahasa resmi terutama disebabkan oleh keresmian suasana pembicaraan dan komunikasi tulis yang menuntut adanya bahasa resmi. Contoh suasana pembicaraan resmi adalah pidato, kuliah, rapat, ceramah umum, dan lain-lain. Dalam bahasa tulis bahasa resmi banyak digunakan dalam surat dinas, perundang-undangan, dokumentasi resmi, dan dan lain-lain.  
            Situasi tidak resmi akan memunculkan suasana penggunaan bahasa tidak resmi juga. Kuantitas pemakian bahasa tidak resmi banyak tergantung pada tingkat keakraban pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Dalam situasi tidak resmi, penutur bahasa tidak resmi mengesampingkan pemakaian bahasa baku atau formal. Kaidah dan aturan dalam bahasa bahasa baku tidak lagi menjadi perhatian. Prinsip yang dipakai dalam bahasa tidak resmi adalah asal orang yang diajak bicara bisa mengerti. Situasi semacam ini dapat terjadi pada situasi komunikasi remaja di sebuah mal, interaksi penjual dan pembeli, dan lain-lain.
            Dari segi fungsinya, bahasa gaul memiliki persamaan anatara slang, jargon, dan prokem. Fungsi slang dan prokem digunakan untuk merahasiakan sesuatu kepada kelompok lain (Pateda, 1987:70). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1989:352) disebutkan bahwa jargon adalah kosakata khusus yang dipergunakan di bidang kehidupan (lingkungan) tertentu.
            Bahasa gaul remaja merupakan bentuk bahasa tidak resmi. Bahasa gaul remaja berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Bahasa gaul dari masa ke masa berbeda. Tidak mengherankan apabila bahasa gaul remaja digunakan dalam lingkungan dan kelompok sosial terbatas, yaitu kelompok remaja. Hal ini berarti bahwa bahasa  gaul hanya digunakan pada kelompok sosial yang menciptakannya. Anggota di luar kelompok sosial tersebut sulit untuk memahami makna bahasa gaul tersebut.
            Bahasa gaul disebut juga sebagai bahasa prokem, . Hal ini dilihat dari segi fungsi, penuturnya, dan kaidah pembentukan bahasanya. Hal ini sesuai dengan laman wilkimedia bahwa bahasa gaul atau bahasa prokem adalah dialek bahasa indonesia nonformal yang terutama digunakan di daerah perkotaan umumnya oleh kalangan remaja, dan kalangan muda di Indonesia, khususnya di daerah perkotaan.
Perkembangan teknologi informasi, salah satunya televisi, sangat berperan penting dalam penyebaran bahasa gaul. Apalagi dengan kemajuan teknologi komunikasi Short Massages Send (SMS) yang memberi peluang luas untuk penyebaran bahasa gaul dari satu penutur ke penutur lain.
Bahasa prokem biasa juga disebut sebagai bahasa sandi, yuaitu bahasa yang dipakai dan digemari oleh kalangan remaja tertentu. Bahasa ini konon berasal dari kalangan preman. Bahasa prokem itu digunakan sebagai sarana komunikasi di antara remaja sekelompoknya selama kurun tertentu. Sarana komunikasi diperlukan oleh kalangan remaja untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap tertutup bagi kelompok usia lain atau agar pihak lain tidak dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakannya. Bahasa prokem itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan latar belakang sosial budaya pemakainya. Hal itu merupakan perilaku kebahasaan dan bersifat universal.
Hal senada dituliskan juga pada laman Pusat Bahasa bahwa Bahasa prokem adalah bahasa sandi, yang dipakai dan digemari oleh kalangan remaja tertentu. Bahasa ini konon berasal dari kalangan preman. Bahasa prokem itu digunakan sebagai sarana komunikasi di antara remaja sekelompoknya selama kurun tertentu. Sarana komunikasi diperlukan oleh kalangan remaja untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap tertutup bagi kelompok usia lain atau agar pihak lain tidak dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakannya. Bahasa prokem itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan latar belakang sosial budaya pemakainya. Hal itu merupakan perilaku kebahasaan dan bersifat universal.
Bahasa Slang oleh Kridalaksana (1982:156) dirumuskan sebagai ragam bahasa yang tidak resmi dipakai oleh kaumremaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha orang di luar kelompoknya tidak mengerti, berupa kosa kata yang serba baru dan berubah-ubah. Hal ini sejalan dengan pendapat Alwasilah (1985:57) bahwa slang adalah variasi ujaran yang bercirikan dengan kosa kata yang baru ditemukan dan cepat berubah, dipakai oleh kaum muda atau kelompok sosial dan profesional untuk komunikasi di dalamnya.
Slang yaitu sengaja dibuat untuk merahasiakan sesuatu kepada kelompok lain (Pateda, 1987:70). Sedangkan menurut Harimukti Kridalaksana (1984:68). Jargon merupakan kosakata yang khas dipakai dalam kehidupan tertentu. Seperti yang dipakai oleh montir-montir, tukang tukang kayu, guru, dan sebagainya, dan sering tidak dipahami oleh orang dalam bidang lain.
Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis hanya ada pada manusia; tidak terdapat pada makhluk hidup lainnya, seperti binatang. Alat komunikasi pada binatang bersifat instinktif, sehingga proses komunikasi pada setiap jenis binatang semuanya sama. Seekor simpanse menyatakan rasa senang dengan memukul-mukul dadanya dengan kepalan tangan. Lebah melakukan putaran sambil terbang beberapa kali untuk mengomunikasikan bahwa pada jarak tertentu terdapat madu. Komunikasi binatang dilakukan dengan bunyi-bunyi dan isyarat tubuh yang sama pada setiap jenis binatang. Berbeda dengan binatang, manusia berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, isyarat, dan tanda. Kedua alat komuniaksi terakhir digunakan oleh binatang tetapi bahasa tidak. Bahasa sebagai alat komunikasi hanya digunakan oleh manusia (Clark, 1981). Sejalan dengan pemilikan bahasa oleh manusia, pikiran dari satu pihak dan budaya dari pihak lain juga milik manusia dan tidak terdapat pada binatang.
Makalah ini bertujuan untuk meninjau sepintas kepemilikan bahasa oleh manusia dalam hubungannnya dengan pikiran, budaya dan komunikasi ditinjau dari berbagai sudut, serta pengaruh perkembangan sosial terhadap bahasa dan penggunaan bahasa. Di samping itu, sebagai pengkaji bahasa, apa yang seharusnya kita lakukan dan untuk apa kita gunakan hasil kajian bahasa.
2.  Bahasa Akuisisi dan Bahasa Pembelajaran
Pembicaraan tentang bahasa yang diakuisisi selalu berkisar tentang pemerolehan bahasa oleh anak-anak sampai umur empat tahun dengan sentral pembicaraan pada bentuk-bentuk bahasa yang dikuasai anak sampai pada tingkat umur tertentu. Anak-anak kelihatannya tidak menggandrungi bahasa tertentu dalam mengakuisisi bahasa. Mereka menyerap bahasa dengan mudah tanpa ada kesuliatan. Menurut para ahli psikolinguis, sampai dengan umur empat tahun, mereka sudah menguasai kosa kata, gramatika, makna semantis/paragmatis, dan wacana yang berhubungan dengan pengalaman mereka sehari-hari (Miller, 1979). Mudahnya mereka menguasai bahasa, tidak tergantung kepada lingkungan masyarakat bahasa yang mana mereka dibesarkan--  seperti anak Indonesia yang dibesarkan di Jerman akan berbahasa Jerman, yang dibesarkan di Swedia akan berbahasa Swedia, dan seterusnya. Namun bahasa yang dikuasai oleh anak yang berumur sampai dengan empat tahun adalah bahasa sehari-hari yang bertahapan sesuai dengan tingkat umur. Tahapan pertama adalah bahasa ego yang berfungsi untuk mengungkapkan keinginan diri tanpa memperhatikan keinginan dan komunikasi dua arah. Pada tingkat umur tertentu, barulah anak secara sederhana dapat menanggapi keinginan orang lain dalam berkomunikasi secara pragmatis (Miller 1979). Konstruksi-konstruksi bahasa yang jarang mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari; yang banyak dipakai dalam bahasa tulis dan konstruksi-konstruksi bahasa yang sangat rumit belum mereka kuasai (Slobin, 1985; 1992). Bentuk-bentuk bahasa formal, seperti bahasa pendidikan, bahasa pidato, bahasa diskusi, bahasa surat, bahasa buku, dan sejenisnya masih di luar jangkauan penguasaan anak. Pada saat anak-anak sudah masuk sekolah, akuisisi bahasa mereka semakin luas dan semakin memahami fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sesuai dengan perkembangan sosial-budaya. Bahasa akademis dan bahasa tulis mereka peroleh pada saat mereka berada di dalam masa pendidikan formal. Semakin maju suatu bangsa, semakin rumit bentuk komunikasi yang terjadi sesuai dengan kerumitan perkembangan budaya yang berkembang dalam masyarakat bahasa di mana seseorang dibesarkan dan semakin berkembang penguasaan bahasanya.
Pernyataan Slobin yang terakhir di atas adalah kunci perbedaan pandangan penguasaan bahasa oleh para psikolinguis dengan para ahli sosiolinguistik, pragmatik dan analisis wacana. Penguasaan bahasa oleh anak dengan konstruksi gramatika yang lengkap sudah dianggap sebagai penguasaan bahasa secara sempurna. Sebaliknya, penulis berpendapat sama dengan para ahli yang mengatakan bahwa akuisisi dan pembelajaran bahasa manusia tidak pernah ada akhirnya sampai akhir hayat seseorang. Dengan kata lain, selama penguasaan bahasa tidak hanya dipandang sebagai penguasaan bentuk-bentuk gramatika, tetapi dipandang dari hubungan perkembangan sosial-budaya yang mereka serap dan hayati dari kehidupan mereka, maka akuisisi dan pembelajaran bahasa oleh manusia berlangsung terus.
Dari dasar berpikir tentang hakikat pemilikan bahasa pada manusia, pertanyaan yang dikemukakan dalam makalah ini adalah ke mana kajian bahasa seharusnya dan sebaiknya diarahkan agar berdaya-guna terhadap pengembangan sumber daya manusia.
 
3. Bahasa, Konteks, dan Perluasan Pengertian Konteks
Berbagai pendapat ahli tentang definisi bahasa, tergantung pada filsafat kebahasaan yang dianut. Kaum mentalisme berpendapat bahwa bahasa adalah satuan-satuan proposisi yang dituangkan dalam kalimat (Menyuk, 1971). Kaum interaksionisme kognitif mengatakan bahwa bahasa bukan hanya pengetahuan penutur bahasa tentang proposisi, tetapi lebih luas dari itu—hubungan logis antar proposisi (Piaget, 1981). Tetapi aliran ketiga, kaum interaksionisme sosial berpendapat bahwa bahasa lebih luas lagi dari itu. Bahasa tidak saja dipandang dari konten proposisi, hubungan logis antar proposisi, tetapi juga melibatkan interpretasi sebagai hasil komunikasi antara pembicara dan pendengar. Interpretasi dapat dilakukan apabila konteks dipahami baik oleh pembicara maupun pendengar (Vygotsky, 1973).
Dengan pijakan ilmu kebahasaan yang sudah ada, para ahli semakin lama semakin menyadari bahwa sebenarnya konteks tidak terikat pada waktu, tempat, situasi, topik, partisipan, dan saluran percakapan, tetapi lebih meluas lagi dengan konteks-konteks yang jauh di luar pembicara dan pendengar yang terlibat dalam suatu komuniaksi antarpersona. Mereka telah mulai menjelajahi bahasa secara lebih khusus dan mendalam ke dalam kehidupan manusia yang menggunakannya. Manusia menggunakan bahasa bersama dengan perkembangan sosial budaya; manusia menggunakan bahasa dalam politik, ekonomi, agama, pendidikan, sains dan teknologi. Maka konteks bahasa tidak lagi hanya konteks pembicara-pendengar pada tempat, waktu, situasi, dan saluran tertentu, tetapi telah meluas ke dalam segala segi kehidupan manusia.
Karena itu Grundy (1998) menegaskan bahwa:
… Truth or enlightenment is contingent on an infinite process of scientific enquiry within a community of interpreters vis-a-vis phenomena of the real world, rather than being a transcendental state of mind arrived at by one particular individual (or group of individuals) at some particular period of time. …
Kebenaran interpretasi dalam suatu komunitas bahasa datang dari dunia nyata, bukan merupakan hasil pendapat manusia secara individu atau kelompok individu tentang bahasa pada periode waktu tertentu. Dengan rasional yang demikian, Grundy menarik implikasi bahwa:
1.      we have no power of introspection, but at the same time all knowledge of our internal world is derived by hypothetical reasoning from our knowledge of external facts.
 
Apa yang ada di kedalaman pikiran manusia bersumber dari kenyataan-kenyataan yang terdapat di luar pikiran manusia itu sendiri melalui penalaran. Bahwa manusia mempunyai genetika kebahasaan tidak disangkal, tetapi genetika bahasa tidak bermakna apabila "knowledge of external facts" tidak ada. Karena itu, terkait dengan apa yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan, akuisisi dan pembelajaran bahasa tidak pernah berhenti sampai seseorang meninggal dunia. 
 
2.      we have no power of intuition, but yet every cognition is determined logically by previous cognitions
 
Seperti yang dinyatakan oleh Chomsky (1965), manusia mempunyai intuisi terhadap bahasa asli atau bahasa ibunya. Tetapi mungkinkah intuisi itu ada apabila kognisi sebelumnya tidak pernah ada? Dari mana kita tahu bahwa sebuah kalimat salah, jika kalimat itu sendiri tidak pernah ada sebelumnya? Dan keberadaan sebuah kalimat dalam bahasa tertentu di dalam otak seseorang tidak dibawa dari lahir, tetapi masuk ke dalam otak manusia sebagai input, bukan sebagai "property" otak manusia. Ini tidak saja terjadi pada akuisisi bahasa tetapi juga pada kognisi yang lain. Dapatkah manusia menggunakan intuisinya bahwa suatu norma dalam budayanya salah atau benar bila tidak didahului oleh keberadaan budaya tersebut sebelum dia lahir?
 
3.      we have no power of thinking without signs.
 
 
Tanda-tanda atau simbul-simbul, termasuk bahasa, adalah alat berpikir manusia. Simbul-simbul tersebut sudah ada di luar diri seseorang sebelum dia lahir. Tanpa simbul-simbul tersebut manusia tidak dapat berpikir. Simbul-simbul tersebut dapat dipahami bukan oleh proses penyerapan pikiran secara individual, tetapi merupakan interaksi antara setiap individu dengan alam dan dengan individu lainnya baik perorangan maupun di dalam kelompok.
 
4.      we have no conception of the absolutely incognizable
 
Tidak satupun konsepsi yang tidak dikenal oleh manusia. Artinya adalah bahwa melalui interaksi manusia dengan manusia lain dan dengan alam, sebuah konsepsi tetap dikenal oleh manusia di mana konsepsi itu lahir.
Keberadaan diri manusia, seperti yang kita ketahui, terbentuk melalui tanda-tanda yang merupakan bagian dari proses pengenalan tanda yang ada di dalam alam dan proses pengenalan tanda yang ada di dalam suatu komunitas. Kesadaran diri manusia saling terkait dengan mata rantai semiotik dan terbuka bagi struktur rasional yang terdapat di dalam alam ini.  Kenyataan-kenyataan sebagai tanda-tanda eksternal yang diketahui atau yang dapat diketahui masuk dan menempati ranah pikiran manusia dan melalui perbandingan-perbandingan membentuk makna. Karena itu, berbeda dengan Chomsky (1958), Marvin Minsky (1988) mengemukakan bahwa pikiran adalah bawaan. Tetapi pikiran tidak dapat berbuat apa-apa tanpa tanda-tanda. Secara spesifik, dia mengatakan bahwa:
 
Meanings come about through interaction between readers and receivers and linguistic features come about as a result of social processes, which are never arbitrary. In most interactions, users of language bring with them different dispositions toward language, which are closely related to social positionings.
 
Peran interaksi sosial dalam pembentukan makna dalam kebahasaan sangat penting. Baik dalam akuisisi bahasa anak maupun pembentukan pemahaman orang dewasa secara individual terhadap sesuatu, pembentukan sebuah konsep atau pemahaman suatu proses kultural tidak lepas dari peran sosial-budaya.
Kembali kepada konteks dan perluasan pengertian konteks, dapat disimpulkan bahwa konteks tidak saja terbatas pada konteks-konteks langsung (immediate contexts) yang mencakup topik, latar, partisipan, saluran bahasa, dan fungsi bahasa (Freedle, 1979), tetapi juga melingkup semua tanda-tanda (signs) yang terdapat di dalam alam sesuai dengan komponen budaya di mana tanda-tanda tersebut itu ada (Halliday, 1986). Proses akuisisi dan pembelajaran bahasa oleh anak-anak dan orang dewasa selalu didampingi oleh tanda-tanda yang tersimpan di dalam komponen-komponen sosial budaya yang sekarang kita simpulkan sebagai perluasan konteks bahasa.
4.  Arah Kajian Bahasa dalam Perkembangan IPTEK dan Sosial-Budaya
Orang di luar bidang bahasa selalu bertanya-tanya: "Untuk apa ilmu linguistik itu?" Sebagai ilmuan kebahasaan, kita mencoba menjawabnya dari sudut pandang azas manfaat. Setiap kajian kebahasaan mempunyai azas manfaat. Bila kita tinjau dari segi aliran, bidang kajian, dan komponen dari masing-masing bidang kajian bahasa, sebenarnya kita dapat menelusuri satu persatu manfaatnya. Tetapi di dalam makalah yang singkat ini, penulis tidak mungkin menjangkau semuanya. Bila kita perhatikan laporan penelitian kebahasaan baik penelitian lepas atau dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi mahasiswa, di dalamnya dicantumkan azas manfaat penelitian. Sebagai hasil penelitian linguistik murni, secara umum hasil penelitian dikatakan bermanfaat untuk menambah khazanah kebahasaan baik untuk linguistik Indonesia khususnya maupun linguistik secara umum. Pada sisi lain, baik yang bertolak dari aliran kebahasaan maupun dari bidang-bidang dan komponen masing-masing bidang, sebagai hasil penelitian kebahasaan terapan, hasil penelitian bermanfaat untuk diterapkan untuk berbagai kepentingan, seperti pendidikan dan pengajaraan, pengembangan sosial-budaya, pengembangan IPTEK, pengembangan seni dan sastra, dan sebagainya.  
Noam Chomsky, misalnya, sebagai penganut mentalisme dalam kajian kebahasaan berpendirian bahwa hasil kajiannya tidak untuk dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran bahasa karena memang dia tidak mempunyai alasan untuk itu (Chomsky, 1980). Penganut mentalisme kebahasaan, seperti yang telah disinggung pada bagian terdahulu, mengkaji bagaimana makna-makna bahasa diserap oleh anak-anak melalui analisis hubungan logis antar unsur yang hanya melibatkan konteks semotaktik (konteks keterkaitan secara logis antar unsur di dalam kalimat). Karena itu manfaat hasil kajiannya diuntukkan pada pengayaan khazanah kebahasaan dalam bidang psikolinguistik. Karena psikolinguistik mempunyai kaitan dengan ilmu otak (neurologi), pertanyaan muncul: "Apakah kajiannya dapat dimanfaatkan untuk terapi bagi orang-orang yang bermasalah dalam pengucapan bahasa yang disebabkan oleh kerusakan gumpalan otak yang mengontrol bahasa (language lump)?" Jawabannya adalah "tidak" karena yang memperbaiki "kerusakan bahasa" bukanlah kajian Chomsky, tetapi kajian dan penelitian tentang otak itu sendiri. Kalau demikian, hasil kajian psikolinguistik hanya untuk kajian itu "per se". Manfaat hasil kajian suatu bidang ilmu merupakan hak "prerogatif" pengkajinya sendiri. Dengan kata lain, hasil kajian bahasa yang demikian merupakan inventarisasi kekayaan ilmu dan pengetahuan. Karena itu, salah satu klasifikasi hasil kajian bahasa adalah inventarisasi kekayaan ilmu pengetahuan. Bahasa dalam hal ini berfungsi sebagai ilmu (art).
Masuknya teknologi secara berangsur-angsur ke dalam ruangan kelas selama lebih dari 20 tahun cenderung mencerminkan perkembangan teknologi komputer yang sejalan dengan perkembangan pembelajaran dan pengajaran  yang dilakukan oleh para ahli dan diangkat oleh guru untuk dilaksanakan di dalam kelas. Karena itu, pengenalan teknologi internet dalam pendidikan sejalan dengan beralihnya pendidikan dari minat terhadap teori belajar kognitif dan perkembangan ke arah teori sosial dan kerjasama (Hawisher, 1994).
Beberapa ahli mengemukakan bahwa era komunikasi hypertext dan internet yang telah mulai tumbuh pada pertengahan1990-an mengisyaratkan perlunya perluasan pandangan terhadap literasi: komputer tidak lagi dipandang sebagai pengganti guru atau alat yang "pintar" bagi pembelajar, tetapi sebagai media baru yang mengubah cara kita menulis, membaca, dan mungkin juga berpikir (Selfe, 1989). Tanpa berpegang kepada analisis radikal peran teknologi dan literasi, kita perlu melakukan penelitian tentang komputer dan pendidikan yang tidak hanya menghargai manfaat komputer secara pedagogis dan sosial tetapi juga menentukan secara tepat bagaimana bahasa, pembelajaran, dan pengajaran telah digantikan oleh penggunaan teknologi internet dan hypertext di dalam kelas. Bahasa internet merupakan bahasa wacana yang dapat dikaji dan dapat diterapkan dalam pendidikan dan pengajaran.
Tentu saja banyak hasil kajian bahasa yang berstatus seperti ini, namun kemajuan IPTEK dan sosial-budaya di segala bidang membuat kajian bahasa berkembang ke arah yang bersamaan dengan perkembangan itu. Di dalam makalah ini penekanan adalah pada kajian-kajian bahasa yang berkaitan dengan perkembangan tersebut, seperti pendidikan dan pengajaran, politik, kritik, komputerisasi, ekonomi, teknik, pariwisata, komunikasi, dan banyak lagi.   
Penulis, dalam makalah ini, tidak akan menguraikan perkembangan IPTEK dan sosial-budaya secara konseptual, teoritis dan sistematis karena hal tersebut adalah di luar jangkauan penulis. Tetapi penulis akan memberikan contoh-contoh perkembangan tersebut secara acak dan mengaitkannya dengan kajian kebahasaan. 
5.  Analisis Wacana    
Ada dua jenis wacana, wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan berbentuk komunikasi verbal antar persona, sedangkan wacana tulis ditampilkan dalam bentuk teks. Wacana harus dibedakan dari teks dalam hal bahwa wacana menekankan pada proses, sedangkan teks pada produk kebahasaan. Sebuah unit percakapan dapat dilihat dari teks apabila penganalisis melihat hubungan kebahasaan antar tuturan. Sebaliknya, percakapan dilihat dari wacana apabila yang dikaji adalah proses komunikasi sehingga menghasilkan interpretasi. Dalam makalah ini, penekanan bahasan adalah pada wacana. 
Bahwa budaya mempengaruhi "gaya" percakapan secara sistematis merupakan prinsip pendekatan analisis wacana yang dikenal sebagai etnografi komunikasi, yang mengkaji bagaimana kaidah-kaidah budaya menentukan struktur dasar percakapan. Bagi etnografer di bidang ini, budaya merangkul pengetahuan dan pelaksanaannya, termasuk tindak tutur. Dalam hal yang demikian, etnografi  komuniaksi adalah payung teori tindak tutur. Karena itu, barangkali, pendekatan komunikasi yang mengatakan bahwa tidak hanya totalitas pengetahuan dan pelaksanaan budaya tercakup di dalam wacana tapi juga penekanan pada bahasa menjadikan kedua kajian ini lebih banyak diperhatikan pada saat ini.
Karena totalitas budaya tercakup secara dominan di dalam kajian wacana, maka semua aspek kehidupan sosial-budaya manusia dapat dianalisis melalui wacana. Makna dan modernitas merupakan usaha yang ambisius untuk membangun kembali konsep dari pragmatisme filosofis untuk teori sosial yang kontemporer. Halton (1986) mengemukakan nilai-nilai sikap pragmatis sebagai cara berpikir. Selama ini, teknik rasionalisasi melepaskan diri dari konteks yang hidup.Yang lebih menarik dewasa ini adalah arah kajian sosial budaya dan wacana bisa dilakukan dalam dua arah--melalui wacana, kita dapat mengkaji budaya dan melalui budaya kita dapat mengkaji wacana.
 
6.  Analisis Percakapan
       
  Berikut ini, van Dijk (1998) mengulas tentang analisis percakapan. Seperti yang telah diperlihatkan oleh peneliti etnografi komunikasi dan para ahli bahasa lainnya, pemanfaatan kegiatan yang diatur oleh kaidah secara empiris dapat diuji dan diverifikasi kebenarannya. Analisis empiris peran tingkah laku yang diatur kaidah di dalam interaksi percakapan merupakan sentral pendekatan; dasar empirisnya menupangnya dengan metode yang tangguh karena hipotesis tentang percakapan yang terjadi pada suatu interaksi dapat diverifikasi dengan mengkaji interaksi dalam percakapan yang lain. Hasilnya adalah bahwa banyak para linguis dan sosiolog memfokuskan kajian mereka pada hal-hal yang diatur kaidah di dalam percakapan dan menemukan prinsip-prinsip utama. Ini bukan berarti bahwa sudah ada pendekatan yang diatur oleh kaidah yang sistematis dalam analisis wacana.
         Sebaliknya, pendekatan yang berdasarkan kaidah dalam menerangkan makna telah dikeriktik secara luas, sebagi sesuatu yang terlalu umum untuk dimanfaatkan. Disarankan oleh banyak ahli agar kajiannya dibatasi di berbagai kemungkinan. Namun penganut kaidah percakapan membalasnya dengan mengatakan bahwa kaidah bukan untuk dipakai secara ketat, namun dalam percakapan terdapat kaidah yang dapat dipedomani. Dengan melihat bahwa ada kaidah dalam struktur percakapan, kita membatasi agar kajian kita tidak menjadi sesuatu yang tidak berujung.
 

  1. Manusia sebagai individu, makhluk sosial dan mahluk religius.                                                   Manusia sejak awal lahirnya adalah sebagai makhluk sosial (ditengah keluarganya). Makhluk yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sebagai individu, manusia dituntut untuk dapat mengenal serta memahami tanggung jawabnya bagi dirinya sendiri, masyarakat dan kepada Sang Pencipta.

elearning.unej.ac.id/
Manusia dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.

ttp://id.wikipedia.org/wiki/Manusia

Untuk dapat menggunakan bahasa dalam berkomunikasi diperlukan dua sarana penting, yakni sarana linguistik dan sarana pragmatik. Sarana linguistik berkaitan dengan ketepatan bentuk dan struktur bahasa, sedangkan sarana pragmatik berkaitan dengan kecocokan bentuk dan struktur dengan konteks penggunaannya. Kendala pada sarana linguistik lebih sering dihadapi oleh pembelajar BIPA pemula, sedangkan sarana pragmatik lebih sering menjadi kendala bagi pembelajar BIPA tingkat menengah dan tingkat lanjut. Hal ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Fadilah (2001) tentang kesalahan berpragmatik dalam wacana tulis pembelajar BIPA.
            Dalam hal fungsi bahasa, banyak ahli membaginya bermacam-macam, misalnya, Halliday mendeskripsikan tujuh fungsi bahasa, yakni fungsi instrumental, regulatory, representational interactional, personal, heuristic, dan imaginative (dalam Brown, 1980:194-195). Whatmough membaginya atas empat fungsi, yakni informatif, dinamis, emotif, dan estetis (Rusyana, 1984:141-142), dan yang lebih rinci disampaikan oleh Brown (1980:195) bukan dalam fungsi bahasa, melainkan dalam tindak komunikasi. Brown menyajikan lima belas tindak komunikasi, yaitu greeting, complimenting, interrupting, requesting, evading, criticizing, complaining, accusing, agreeing, persuading, reporting, commanding, questioning, sympathizing, dan apologizing. Perbedaan pendapat tersebut bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk menjadi khasanah dalam pemerian fungsi bahasa.
Penelitian yang dilakukan untuk makalah ini berhubungan dengan tindak komunikasi tulis pembelajar BIPA (kelas 10,11, dan 12) yang ada di Bandung International School dengan melibatkan sepuluh tindak komunikasi, yakni (1) berkenalan, (2) bertukar pengalaman, (3) memberikan informasi, (4) meminta maaf, (5) menawar harga, (6) mengucapkan selamat, (7) memberikan nasihat, (8) mengucapkan bela sungkawa, (9) mengungkapkan persetujuan dan penolakan, dan (10) mencari informasi. Adapun peran pembelajar dalam tindak komunikasi yang diteliti meliputi sebagai penutur (20 bagian) dan sebagai penanggap tutur (14 bagian). Tipe kesalahan berpragmatik yang diteliti hanya kesalahan konteks dan kesalahan budaya. Kesalahan konteks terdiri atas kesalahan menempatkan posisi, kesalahan memahami konteks sebelumnya, dan kesalahan memahami konteks sesudahnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar